Tony Rosyid: Pertarungan Istana vs KPP, Kenapa Harus Hidup-Mati?

    Tony Rosyid: Pertarungan Istana vs KPP, Kenapa Harus Hidup-Mati?

    OPINI - Jegal menjegal, ini terjadi. Hal biasa dalam politik. Tapi, jika itu dilakukan dengan menggunakan ancaman dan instrumen kekuasaan, ini menjadi tidak biasa. Negara akhirnya dikorbankan untuk kepentingan kelompok yang pragmatis. Ini seharusnya dihindari.

    Tapi, itulah fakta politiknya. Kasat mata, karena dilakukan secara kasar. Fakta ini sulit dibantah, karena sudah jadi bacaan bersama oleh publik. 

    Mutlak, Anies tidak boleh nyapres. Segala ikhtiar telah dilakukan. Terlalu jauh dan dalam. Penguasa telah ambil risiko dengan melakukan penjegalan secara total. At all cost. Ini berbahaya bukan saja buat Anies dan koalisi pengusungnya, tapi keadaan bisa berbalik dan justru bisa menghantam penguasa itu sendiri. Yang pasti, ini merusak demokrasi dan mengancam keutuhan bangsa.

    Jangan sampai demi menpertahankan kekuasaan, lalu saling menghabisi. Inilah yang sangat kita khawatirkan bersama. Kenapa? Karena adanya totalitas untuk menghabisi semua yang berhubungan dengan Anies Baswedan, ini akan semakin membuat adanya ketakutan pihak penyerang jika situasinya berbalik. Semakin besar serangan, maka semakin besar pula ketakutan. Semakin besar ketakutan, ini akan mendorong untuk melakukan penyerangan yang lebih besar lagi, dan bahkan semakin tidak masuk akal.

    Selama upaya penjegalan terhadap Anies dan tekanan kepada KPP tidak berhenti, maka rasa takut akan semakin akut. Akibatnya, penjegalan akan semakin kasar dan vulgar. Tindakannya akan semakin tidak rasional. Ketika tindakan itu lepas kontrol dan semakin tidak rasional, ini akan menghawatirkan terhadap stabilitas bangsa. Negara dikorbankan.

    Pengambil-alihan Demokrat, ini tindakan politik yang kasar dan tidak rasional. Menghancurkan bisnis para pendukung Anies, ini hanya malah dapat memancing dendam. Kenekatan untuk mengkriminalisasi Anies pasca dicapreskan oleh tiga partai yang mendapat dukungan relawan yang semakin terkordinir secara masif, ini bisa menjadi tindakan konyol, karena berpotensi menciptakan konflik horisontal yang meluas.

    Tindakan irasional yang potensial dilakukan oleh penguasa semakin menghawatirkan bertahannya stabilitas negeri ini kedepan. Pikiran bahwa "pokoknya harus menang" semakin sulit diharapkan Indonesia akan mampu menjaga suasana damai.

    Demokrasi mengajarkan kita untuk bersedia berkompetisi secara fair dengan kesiapan untuk menerima kemenangan maupun kekalahan. Siap menang, harus pula siap kalah. Itulah demokrasi. Jika ini menjadi prinsip bersama, maka rakyat dijamin akan damai.

    Tapi jika ada pihak yang tidak memberi option kalah, artinya tidak bisa menerima kekalahan sehingga berupaya at all cost melakukan penjegalan, ini akan menjadi investasi sangat buruk terhadap stabilitas negara di hari depan. Cara berpikir dan bertindak "tidak siap kalah" akan memancing kericuhan dan kemarahan massal yang dahsyat.

    Tulisan ini mengingatkan kepada semua pihak untuk menyadari bahayanya sikap politik yang semakin mengabaikan aturan, moral dan etika sehingga lepas kendali, emosional dan tidak lagi terkontrol. Jangan korbankan bangsa dan negara ini karena tindakan irasional yang bersumber dari rasa takut itu. Semakin takut, maka tindakan politik yang dilakukan akan semakin emosional dan tidak terkontrol. Ini bukan hanya membahayakan kelompok dan elit tertentu, tapi ini jelas membahayakan stabilitas nasional. 

    Jakarta, 24 Juni 2023

    Tony Rosyid
    Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

    tony rosyid kpp anies baswedan
    Tony Rosyid

    Tony Rosyid

    Artikel Sebelumnya

    Universitas Mercu Buana Lahirkan Wisudawan...

    Artikel Berikutnya

    Hendri Kampai: Macan Versus Banteng di Antara...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan dan Paradoks Kebijakan
    Polda Jatim Berhasil Ungkap 28 Kasus TPPO, 41 Tersangaka Diamankan
    Hendri Kampai: Negara Gagal Ketika Rakyat Ditekan dan Oligarki Diberi Hak Istimewa
    Hendri Kampai: Pemimpin Inlander Selalu Bergantung pada Asing

    Ikuti Kami