BANDUNG - Di bulan Januari yang lalu, tepatnya tanggal 20 Januari 2020, aku dan keluarga mengantar ponakan ke bandara Soekarno-Hatta yang hendak kembali ke Jerman.
Ponakanku, bernama Ray bersama suaminya Riski dan seorang anak laki-lakinya kesayangan mereka berusia 5 tahun yg lahir di Jerman.
Selama menunggu keberangkatan, kami banyak bicara. Tentang apa-apa yg dirasakan mereka, yang aku tangkap, adalah sebuah kekecewaan mendalam pada diri pasangan muda itu, sehingga mereka memutuskan untuk kembali ke Jerman.
Berbeda sekali dengan keberangkatan mereka sepuluh tahun yang lalu, juga melalui bandara Soekarno-Hatta. Waktu itu, mereka gembira, senang, semringah yang berbinar menatap masa depannya, karena diterima melanjutkan studi kedokteran spesialis pada universitas terkenal di Jerman.
Waktu itu ponakanku berusia 24 tahun dan baru saja diwisuda menyelesaikan profesi dokter umum dari Fakultas Kedokteran - Unpad, dan langsung diterima di Jerman. Karena, menjelang kuliahnya berakhir ia sudah mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi dokternya.
Empat tahun ia menyelesaikan dokter spesialisnya, dengan predikat Cumlaude, dan dengan mudah pula ia diterima bekerja di rumah sakit ternama di Jerman. Selain itu, ia juga terlibat sebagai tim-peneliti kesehatan di universitasnya.
Baca juga:
KSE UNAIR dan ITS Gelar Aksi Donor Darah
|
Banyak fasilitas yang ia terima di Jerman, rumah, dan pendapatan yg besar.
Begitu pula dgn suaminya, setelah menyelesaikan master teknik elektro dan bekerja di sebuah industri di kota yg sama.
Pernah dua kali, aku berkunjung melihat kesuksesan dan kesenangan hidup yang mereka dapatkan di Jerman.
Tiga tahun yg lalu, melalui telfon aku memintanya pulang ke Indonesia. Ternyata mereka mengikutinya. Setahun kemudian, tepatnya diawal tahun 2019 ia sudah berada di Bandung untuk ikut program penyesuaian dokter spesialis di kampus almamaternya dulu.
Baca juga:
Mengenal Seni Aborigin Australia
|
Begitulah, kalau seseorang warga Indonesia yang telah menyelesaikan studi kedokteran dari luar negeri baik itu dokter umum ataupun dokter spesialis, diwajibkan untuk mengambil program tersebut untuk dapat ber-praktek sebagai dokter di wilayah Republik-Indonesia.
Selama mengikuti program penyesuaian kedokteran spesialis di Bandung, ia pernah beberapa kali nginap di rumah. Ia bercerita, ingin sekali praktek dan bekerja di rumah-sakit di Jakarta.Walau penghasilan yang ia terima sangat jauh berbeda dengan yang diterimanya di Jerman.
Yang saya tangkap waktu itu, muncul rasa kebangsaannya, yang ingin memberikan darma baktinya di bidang kesehatan untuk republik ini.
Hampir satu tahun sudah dengan sabar ia mengikuti program penyesuaian dokter spesialis, baik kuliah di kelas maupun Co-As di RS Hasan Sadikin Bandung.
Ia paham dan sadar betul, ketika bekerja di RS Jerman menggunakan fasilitas alat-alat kedokteran yang berteknologi tinggi dengan sistem manajemen kesehatan yang mumpuni.
Suatu hari, ia datang ke rumah dengan wajah kecewa. Ada sesuatu yang telah menohok hatinya, hancur. Ia hanya bicara, bahwa telah ia ditekan dengan tidak fair dan tidak terbuka oleh seorang dosen. Walau dosen itu, cukup dikenalnya ketika masa kuliah dulu.
Terakhir datang ke rumah. Ia dan suaminya mendiskusikan, mengambil langkah untuk berhenti menyelesaikan program penyesuaian kedokteran spesialis. Walau telah mengikuti hampir satu tahun lamanya dan telah menghabiskan dana tak sedikit.
"Kan sayang" kataku untuk menahannya dan bersabar. "Tinggal sedikit lagi" kataku membujuk terus. Mereka hanya diam, hanya matanya yg menatapku.
Rupanya kekecewaan lebih keras yg ia rasakan dari pada pengorbanan yg telah dilaluinya. Itulah sebuah kekecewaan dari anak bangsa yang dibawanya ke Jerman.
Cerita ini kutulis, setelah pertemuan keluarga kemarin, pada hari pertama syawal di rumah saja yang dilakukan virtual melalui zoom.
Ponakan dari Jerman. Mereka berkata, bahwa mereka telah mengurus melepas WNI-nya untuk pindah kewarganegaraan Jerman, mengikuti jejak beberapa saudaraku yang lebih dulu melepas WNI-nya untuk menetap menjadi warga negara di negara Kangguru dan negara Paman Sam-Amerika.
Bandung, Januari 2020
Eddy Syarif
Tukang Foto Keliling